SEMARANG – Sebanyak 32 NGO yang bergerak di bidang perlindungan anak dan perempuan secara kompak menyuarakan urgensi revisi Undang-Undang Penyiaran yang dinilai sudah tidak lagi relevan dengan dinamika konten siaran saat ini. Hal tersebut menjadi rekomendasi hasil Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menciptakan Media yang Ramah Anak dan Perempuan” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah bekerja sama dengan Forum Komunikasi Kesetaraan Gender (FKKG) Jawa Tengah pada Jumat (11/7/2025).
Salah satu tuntutan utama yang disuarakan adalah perlunya penguatan sistem pengawasan isi siaran, terutama dalam hal perlindungan terhadap kelompok rentan seperti anak dan perempuan yang kerap menjadi kelompok paling terdampak oleh tayangan bermasalah.
Dalam forum yang digelar di Kantor KPID Jateng tersebut, perwakilan NGO menyampaikan bahwa banyak regulasi saat ini belum mampu mengakomodasi isu kekerasan terselubung dalam siaran, seperti stereotip gender, normalisasi kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi anak dalam program hiburan, hingga ketidaksetaraan representasi perempuan di media.
“Revisi Undang-Undang Penyiaran sudah menjadi kebutuhan mendesak. Ini bukan hanya soal mengontrol isi siaran, tapi juga soal keadilan sosial dan perlindungan hak-hak kelompok rentan,” ujar Zuhar, salah satu peserta FGD dari PW Muslimat NU Jawa Tengah.

Senada dengan hal tersebut, M Yusuf dari Gerakan Laki-laki Peduli Perempuan dan Anak (Garpu Perak) Jawa Tengah, menekankan pentingnya audit konten siaran bersama-sama dengan melibatkan berbagai pihak. Selain itu juga menuntut perbaikan regulasi untuk dapat mewajibkan penyampaian pesan nilai-nilai tersirat dalam konten siaran, untuk mengampanyekan kepedulian pada kepentingan perempuan dan anak.
Mereka juga mendorong agar revisi undang-undang tersebut dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik, terutama kelompok masyarakat sipil yang selama ini bekerja langsung dalam isu-isu perlindungan anak dan perempuan. Harapannya, revisi regulasi ini dapat memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi lembaga pengawas seperti KPID dalam menjalankan tugasnya secara efektif.
Keresahan Publik
FGD ini diselenggarakan sebagai respon atas meningkatnya keresahan publik, khususnya dari kelompok pegiat kesetaraan gender dan perlindungan anak, terhadap maraknya konten media—baik televisi maupun digital—yang menampilkan kekerasan verbal dan fisik, serta cenderung menempatkan perempuan dalam posisi subordinal. Banyak tayangan, terutama dalam bentuk sinetron atau program hiburan, masih memuat stereotip negatif terhadap perempuan, bahkan menormalisasi kekerasan dalam relasi sosial.
Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran dan Program (PKSP) KPID Jawa Tengah, Intan Nurlaili, menegaskan pentingnya peran media dalam membentuk perspektif masyarakat yang adil gender dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.
“Media seharusnya menjadi ruang aman dan edukatif, bukan justru menyebarkan narasi yang merugikan kelompok rentan seperti anak dan perempuan. Kami di KPID Jawa Tengah merasa perlu menginisiasi ruang dialog seperti ini agar para pemangku kepentingan bisa bersama-sama mendorong lahirnya kebijakan penyiaran yang lebih berpihak dan progresif,” ujar Intan.
Ia juga menambahkan bahwa pengawasan terhadap isi siaran bukan hanya tugas regulator, melainkan membutuhkan kolaborasi dengan masyarakat sipil, terutama NGO yang selama ini bersentuhan langsung dengan isu-isu gender dan anak.

Sementara Ketua FKKG Jawa Tengah, Tsaniatus Salihah, menyampaikan bahwa masih banyak praktik media yang menyuburkan ketimpangan gender. “Banyak tayangan televisi yang menampilkan perempuan hanya sebagai pelengkap, bahkan objek penderita dalam narasi-narasi yang mereka bangun. Ini tidak hanya merugikan perempuan secara citra, tetapi juga mewariskan pola pikir tidak sehat kepada generasi muda,” tegasnya.
Tsaniatus juga menekankan pentingnya kesadaran kolektif dari industri penyiaran untuk memproduksi konten yang sensitif terhadap nilai-nilai kesetaraan, serta menjunjung tinggi perlindungan anak dari dampak buruk tayangan yang mengandung kekerasan.
FGD ini menghasilkan beberapa rekomendasi awal, di antaranya perlunya penguatan regulasi penyiaran berbasis perspektif gender dan hak anak, peningkatan literasi media di tingkat keluarga dan sekolah, serta pembentukan forum komunikasi berkelanjutan antara KPID, NGO, dan pelaku industri penyiaran.
Dengan terselenggaranya FGD ini, diharapkan lahir kesepahaman dan langkah nyata antar-pemangku kepentingan dalam menciptakan ekosistem media di Jawa Tengah yang lebih inklusif, adil, dan ramah bagi semua kelompok, terutama anak-anak dan perempuan.[*]




