Home Berita Ranah Pribadi pada Pemberitaan

Ranah Pribadi pada Pemberitaan

1533

FGD Perlindungan Hak Privasi di Ruang Publik

SEMARANG – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah menggelar Focus Group Discussion (FGD) kajian isi siaran. Kegiatan yang bertema “Perlindungan Hak Privasi di Ruang Publik” tersebut diadakan Selasa (29/10/2019) di Ruang Rapat KPID Jawa Tengah.

Kegiatan yang dibuka oleh Ketua KPID Jawa Tengah Budi Setyo Purnomo dan dimoderatori oleh Komisioner KPID Jawa Tengah Bidang Isi Siaran Dini Inayati itu megundang nara sumber yaitu KH Ahmad Daroji (Ketua MUI Jateng), Triyono Lukmantoro (Ilmu Komunikasi Undip), M Riyanto (Ilmu Hukum Untag Semarang), Choirul Ulil Aldab (Ilmu Komunikasi Udinus), Imam Setiawan (Ilmu Psikologi Undip), Amiruddin (Ilmu Budaya Undip), Nur Karjani (Tim Penggerak PKK Jawa Tengah), Sukirno (Budayawan), Amik Masrifah (Aisyah Jateng), Daru (DP3AP2KB Jawa Tengah), Gita Amanda (INews), Ananto Murkristanto (Trans7), M Zufar Noor (TransTV), Yusuf Asari (Indosiar), Budi Hartono (SCTV), Girindra (MNC) .

Menurut akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip), Triyono Lukmantoro, pada tahun 1901 di New York mulai ada infotainment ketika muncul patung seseorang untuk tujuan komersial. Komersiali individu juga terjadi saat ini untuk tujuan komersial. “Privasi dalam siaran artinya menampilkan hal-hal yang memalukan untuk ditampilkan di ruang publik. Sosmed adalah contoh pengumbaran privasi yang paling jelas,” ungkapnya.

Privasi, lanjutnya, menjadi masalah karena ada  embarassing private fact. Para jurnalis dianggap masuk ke ranah privat dalam pemberitaan. Privasi ditampilkan di posisi yang tidak tepat di tengah-tengah media. “Tidak semata karena hak publik untuk mendapatkan berita lantas bebas menyajikan materi privasi, karena pemberitaan yang luas, hasil hukum apapun, reputasi sudah tersebar. Soal regulasi, semua yang ada di P3SPS sudah baik, tinggal pelaksanaannya saja,” jelasnya.

Salah satu tim perumus Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS), M Riyanto mengungkapkan bahwa aspek norma tidak bisa di komparasi dengan dogma hukum, tapi cara pandang sosiologis. Privasi adalah keleluasaan pribadi, yang diberitakan harus dalam kesepakatan pribadi. “Namun nyatanya ada sekenario yang mendorong seseorang agar mengungkapkan sesuatu. KPI berpendirian bahwa infotainment bukan karya jurnalistik. Karya jurnalistik harus diproduksi oleh jurnalis, bukan pekerja infotainment. Individu tertentu memanfaatkan privasi untuk meraup popularitas,” katanya.

Menurutnya P3SPS melindungi publik dan industri. Misalnya ketika industri ditekan oleh kalangan agamis fundamentalis, industri berlindung di bawah norma P3SPS. Industri harus membangun kepercayaan publik bahwa siaran yang disajikan berdampak baik bagi masyarakat, bukan sekadar rating – share yang bersifat temporary.

Ia menjelaskan, kesepakatan eksploitasi pribadi melatih orang menjadi tidak memperhatikan moral, menjual privasi untuk kepentingan keuntungan tertentu. Menjaga nilai-nilai moral dalam konten tidak harus tekstual sesuai pasal ekplisit. Hak privasi bukannya tidak boleh dieksplorasi, namun dengan pembatasan. Pada SPS Pasal 13 Ayat (3) mengecualikan eksplorasi pada 3 hal, yaitu penggunaan anggaran negara, keamanan negara, dan permasalahan hukum pidana. “Pasal 13 masing-masing ayat bisa berdiri sendiri. Ayat (3) merupakan penekanan. Silahkan eksplorasi privasi dalam siaran, namun tetap memperhatikan etika dan moral . Pembinaan selain ditujukan untuk pengelola lembaga penyiaran, juga perlu pembinaan pada aktor pengisi acara, karena mereka juga membuat konten yang disebarkan melalui platform digital,” paparnya.

Budayawan, Sukirno, berpendapat bahwa pemirsa kita mempunyai kebiasaan meniru, khususnya bahasa dan gaya asing. “Indonesia punya kekhasan yang harus dijaga. Seharusnya kita berbuat baik bukan untuk aturan, melainkan karena kebaikan itu bersifat universal dan otomatis menjadi kebiasaan. Perlu dipertimbangkan bagaimana mempertahankan nilai masyarakat agar tidak latah dengan produk asing,” tandasnya.

Sedangkan menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ahmad Daroji, penyiaran membentuk pendapat, sikap, dan perilaku. “Batas-batas nilai bisa bergeser karena dibiasakan melalui media. Padahal kita harus menjaga nilai. Kebiasaan kawin-cerai selebriti, tertanam pada benak masyarakat dan menjadi kewajaran. Dampak publik perlu diperhatikan. Persentase konten edukatif perlu ditingkatkan sebagai penyeimbang konten hiburan. KPI harus mendorong lembaga penyiaran agar dapat membiasakan masyarakat mengonsumsi siaran yang baik,” katanya.

Kajian isi siaran yang juga dihadiri Komisioner KPID Jawa Tengah, Sonakha Yuda Laksono, Edi Pranoto dan Isdiyanto itu menyimpulkan, pertama, landasan utama regulasi penyiaran dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) berdasar pada Rule of Law dan Ethic. Mengimplementasikan regulasi P3 dan SPS tidak bisa dengan pendekatan tekstual dogmatik, namun diperlukan cara pandang sosiologis yang luas dan etika moral. Kedua, bukan hanya rating and share yang bersifat temporal, industri harus membangun kepercayaan publik bahwa siaran yang disajikan berdampak baik bagi masyarakat agar tidak ditinggalkan audiens.

Ketiga, hak privasi bukannya tidak boleh dieksplorasi, namun dengan pembatasan. Pasal 13 Ayat (3) mengecualikan batasan pada 3 hal, yaitu penggunaan anggaran negara, keamanan negara, dan permasalahan hukum pidna. Keempat, poin-poin yang perlu perbaikan dalam program berkonten privasi yaitu terdapat kesepakatan dari individu yang diekspose privasinya yang mengabaikan nilai dan norma, ekspos privasi selalu sarat dengan konten kekerasan verbal khususnya dalam bentuk intimidasi dan bullying, nilai moral yang sering terabaikan dalam tayangan privasi adalah terkait penghargaan kepada orang lain, bahasa dan sikap dalam siaran berkonten privasi banyak menampilkan ketidakadilan gender terutama dalam bentuk subordinasi perempuan Kelima, ekspose konten privasi tidak bisa hanya memperhatikan kepentingan kapital dan popularitas individu, namun juga harus memperhatikan aspek etika dan norma. Keenam, anak dan Remaja semakin mudah mengakses konten-konten yang sebenarnya tidak diperuntukkan bagi mereka. Pembatasan jam siar semakin tidak relevan. Ketujuh, selain pembinaan pengelola lembaga penyiaran, juga perlu pembinaan pada aktor/aktris pengisi acara, karena mereka juga membuat konten yang disebarkan melalui platform digital. Perlu ada komunikasi intensif dengan talenta program, agensi iklan, rumah produksi, literasi media untuk masyarakat, dan lembaga rating. Kedelapan, semangat membangun siaran sehat tidak hanya dalam konteks menaati aturan, melainkan dalam rangka pembiasaan nilai-nilai kebaikan yang universal. (YyK)