Semarang – Lembaga Penyiaran di Jawa Tengah dituntut untuk selalu netral dan berimbang dalam memberikan segala informasi terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah serentak 2018. Netralitas itu baik dalam pemberitaan maupun iklan tentang pilkada. Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Tengah Rofiuddin menyatakan aturan iklan pilkada saat ini sangat ketat. Saat ini pasangan calon kepala daerah tidak boleh langsung memasang iklan di media massa. Iklan dibatasi karena pemasangan iklan sudah difasilitasi oleh Komisi Pemilihan Umum di daerah masing-masing. “Pemasang iklan paslon hanya selama 14 hari sebelum masa tenang,” kata Rofiuddin saat dialog di RRI Pro 1 Semarang, Kamis (25 Januari 2018).
Rofiuddin menyatakan KPU yang akan mengatur pemasangan iklan itu.
Sesuai ketentuan, jumlah penayangan Iklan Kampanye di televisi untuk setiap Pasangan Calon, paling banyak kumulatif 10 spot, berdurasi paling lama 30 detik, untuk setiap stasiun televisi, setiap hari selama masa penayangan Iklan Kampanye. Jumlah penayangan Iklan Kampanye di radio untuk setiap Pasangan Calon, paling banyak 10 spot, berdurasi paling lama 60 detik, untuk setiap stasiun radio, setiap hari selama masa penayangan Iklan Kampanye.
Jika nanti ada pasangan calon yang memasang iklan diluar yang difasilitasi oleh KPU maka itu telah terjadi pelanggaran. KPU bersama Bawaslu bisa memberikan sanksi mulai dari peringatan hingga sanksi diskualifikasi pasangan calon. “Untuk lembaga penyiarannya, yang akan memberikan sanksi adalah KPID,” kata Rofiuddin.
Jika lembaga penyiaran akan memberitakan pasangan calon maka mereka wajib menyediakan waktu yang adil dan berimbang untuk pemuatan berita dan wawancara untuk setiap Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye. Keberimbangan itu dengan cara memberi kesempatan yang sama. Tidak boleh hanya menampilkan sisi baik atau buruk saja terhadap pasangan calon tertentu. Lembaga Penyiaran harus memberitakan fakta. Tidak mencampuradukan dengan opini pribadi. “Masyarakat atau publik harus mendapatkan informasi yang benar, akuran dan faktual,” kata Rofiuddin.
Dalam kode etik jurnalistik kata netral itu tidak ada tetapi didalam UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan P3SPS prinsip netral itu justru ada. Netralitas itu dapat dipahami dalam 2 kontek, pertama dalam proses membuat berita artinya jika ada dua calon keduanya harus berimbang. Yang kedua netralitas dapat dilihat dari produk jurnalistiknya.
Maka Lembaga Penyiaran diharapkan untuk memperhatikan keberimbangan, proporsional dan mengedepankan netralitas dalam menyiarkan informasi terkait dengan pelaksanaan Pilkada Serentak.
Rofiuddin berpesan ada empat hal yang harus dipatuhi lembaga penyiaran. Pertama: Lembaga Penyiaran tidak boleh di gunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok politik. Kedua, Lembaga Penyiaran harus akurat, tidak menyebarkan HOAX dan SARA. Ketiga: Lembaga Penyiaran harus Independen, netral dan berimbang. Keempat: harus disadari bahwa media adalah bisnis kepercayaan. Jika media digunakan untuk kepentingan politik tertentu maka akan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap media tersebut.