SALATIGA – Tayangan mistis, sebagai salah satu siaran yang cukup diminati masyarakat. Tayangan ini memiliki rating yang tinggi dan hampir semua stasiun televisi pernah menayangkannya. Maraknya fenomena tersebut mendorong Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah mengadakan kegiatan Kajian Analisa Hasil Pemantauan Penyiaran dengan topik “Tren Siaran Mistis: Bukti Kuasa Rating Televisi”, pada Selasa (28/8/2018), bertempat di Ruang Kaloka, Hotel Le Beringin, Salatiga.

“Kegiatan ini sebagai upaya untuk membangun penyiaran yang sehat dan bermanfaat. Diharapkan diskusi ini dapat memberikan masukan bagi penyesuaian siaran mistis yang sehat untuk masyarakat,” kata Sonakha Yuda Laksono SE, Komisioner Bidang Isi Siaran KPID Jawa Tengah, dalam sambutannya.

Focus Group Discussion (FGD) tersebut menghadirkan beberapa pengkaji, diantaranya, Bonardo Marulitua Aritonang SSos MIKom Akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Lukman Hakim Wakil Ketua DPD KNPI Jawa Tengah/Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Jateng, Puthut Ami Luhur Jurnalis Suara Merdeka, Alvianto Wahyudi Utomo SSos MSi Akademisi Sosiologi UKSW Salatiga, Freddy Melmambessy dari Trans TV Jakarta,

M Zein Faqih dari ANTV Jakarta, Nanang Qosim MPd Sekretaris MGMP PAI Kota Semarang, Imam Mas Arum MPd Akademisi Pendidikan Islam IAIN Salatiga, dan Dr Muna Erawati SPsi MSi Akademisi Psikologi IAIN Salatiga.

Muna Erawati beranggapan bahwa aspek mistis yang dieksplorasi di tayangan adalah aspek religiusitas yang paling dangkal.

“Seperti program religi, yang dilabeli dengan judul keagamaan, namun justru dikemas dengan mistisisme yang berlebihan tanpa ajaran religi yang mumpuni. Siaran mistis kita memang mengandung unsur entertainnya, namun jika ditimbang secara cermat, dampak negatifnya lebih kuat daripada aspek edukasinya,” katanya

Sedangkan Freddy Melmambessy menilai, maraknya siaran mistis sebenarnya bukti lemahnya literasi masyarakat. Siaran mistik marak karena permintaan tinggi, masyarakat memang meminati program itu. Sementara pengiklan memilih program untuk beriklan berdasarkan riset Nielsen.

“Solusi menangani siaran tidak sehat adalah menguatkan literasi, oleh semua pihak, baik oleh sekolah, kampus, pemerintah, dan sebagainya,” ungkapnya.

Seketat apapun regulasinya, kenyataannya media konvergen tidak bisa dibendung. Program yang dianggap berkualitas edukasi yang baik oleh televisi justru tidak direspon positif oleh pemirsa.

“Ketika rating rendah, agensi iklan tidak akan beriklan di situ. Televisi hanya akan memproduksi siaran yang layak jual di masyarakat, karena setiap program berbiaya tinggi,” kata Freddy.

Siklus minat masyarakat, dikatakan M Zein juga mempengaruhi maraknya tayangan mistik. “Riset khalayak yang dilakukan internal menunjukkan kecenderungan ke arah itu. Pengertian Mistis sendiri oleh regulasi belum diterjemahkan secara jelas,” tuturnya.

Kategorisasi antara mistis murni dengan mistis yang merupakan produk tradisi budaya juga harus dibedakan. “Menjadi hak publik juga untuk mendapatkan informasi produk-produk budaya, termasuk yang di dalamnya mengandung mistis,” kata Puthut Ami Luhur.

Alvianto mengakui secara natural memang masyarakat dibangun berdasarkan budaya mistik yang kental. Budaya mistik yang kuat di masyarakat ini kemudian diangkat menjadi komodifikasi dalam siaran entertainment.

“Terdapat kejenuhan di kalangan masyarakat terhadap tayangan berita yang negatif, sehingga berpindah ke tayangan hiburan instan. Ada baiknya jika tayangan mistis diimbangi dengan aspek saintifik. Misalnya kajian sejarah suatu bengunan kuno, atau aspek sosiologis masyarakat tertentu,” ungkapnya.

Sementara Nanang Qosim dengan tegas menolak tayangan mistis. Mistik, menurutnya, ada tiga pembagian, yaitu mistis semi saintifik misalnya sulap, mistis fiktif seperti pada film Harry Potter, dan mistis horror.

“Mistis horor yang menjadi langganan di televisi kita, mengeksploitasi makhluk gaib/jin untuk dijadikan komoditas. Tayangan yang disukai masyarakat tidak lantas menjadi layak untuk disajikan. Kalangan pendidikan islam di lingkungan kami, menyatakan dalam sikap menolak siaran mistis yang berkembang,” tuturnya.

Dalam kegiatan itu, direkomendasikan, perlu ada deregulasi, baik itu Undang Undang, maupun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), karena dinamika program siaran begitu cepat. Literasi media kepada masyarakat luas sangat dibutuhkan agar tuntutan acara televisi adalah siaran yang berkualitas. Juga perlu penyadaran pengiklan agar mempertimbangkan kualitas acara, selain rating dalam meletakkan iklan di televisi.    (YyK)